Senin, 30 November 2015

Reinkarnasi Masalalu #2

Cerita sebelumnya: Reinkarnasi Masalalu #1

Kata orang, cinta itu dari mata turun ke hati. Kalau Tuhan mengijinkan bakal bisa mengakar ke jiwa lalu jadi bagian dari hidup yang nyata. Jadi mungkin keindahan yang bisa didapatkan dari paduan hidung mancung, bibir merah, bulu mata lentik, dan alis tebal yang jadi wajah berbumbu Arab adalah cinta fase mata. Bisa saja. Dan semoga memang bisa.

Banyak manusia yang setuju soal wajahnya yang menarik dan anggapan kalau dia memang tampan. Apa yang kurang dari tatanan fisiknya? Dia nyaris sempurna. Tubuh tinggi tegap dan langkah mantap (sekalipun tak semantap angkatan bersenjata) serta mata indah yang sembunyi dibalik kacamata. Sosok sedikit polos dan lugu. Lucu saja.

Mengenalnya mungkin bisa membuat gila. Atau mungkin hanya aku yang merasa. Aku tidak tahu. Aku juga tak mau tahu. Aku sedang ingin mencukupkan diri dengan apa yang sanggup kumiliki saat ini. Punggungnya yang berjalan beberapa meter di depanku. Suaranya yang mengiringi langkahku. Bayangannya yang membekukan alam sadarku. Senyumnya seakan menyejukkan dan membuat mata betah menatap lama. Aku merasa gila. Kata teman-teman aku memang sudah gila soal dia. Dan aku tak protes untuk hal satu itu. Aku bisa merasakan kesadaranku luruh perlahan kala mata ini menangkap kelebatannya. Astaga. Sungguh dia sedemikian indah.

Tadinya aku berpikir aku bisa mengaguminya segila yang aku bisa. Tapi pada satu titik, hujan kemarau panjang dan petir siang bolong itu menyambarku, membuatku sadar bahwa dia tak sesederhana yang terlihat juga terbayangkan. Aku seketika patah hati, jelas. Merasa konyol dengan rasa ini yang mungkin saja terlanjur terpatri entah berapa banyak.

Banyak manusia sekolah mengenal dia, dia juga mengenal mereka. Buatku itu tiba-tiba menyakitkan. Aku sering membaca celetukkannya yang memenuhi sosial media. Fotonya tersebar di banyak situs. Senyumnya memenuhi ruang rasaku. Dia benar-benar ramah dan terlampau baik pada semua orang. Itu menusuk, sekali lagi, andai aku boleh mengungkapkan. Tapi aku tahu aku bukan siapanya, jelas. Aku juga cuma salah satu dari (entah berapa) banyak wanita yang mengagumi dia. Aku bersyukur orang lain cuma tahu kalau aku sekadar mengagumi dia. Kadang, anggapan itu mengamankanku. Tapi kadang juga menusuk.

Baiklah, aku sekarang hilang arah.

Apa cinta itu serba salah? Tidak ketika kamu jatuh cinta pada orang yang tepat, katanya. Tentu saja! Tapi orang yang tepat belum tentu dipertemukan dengan cepat. Lantas apa? Aku tak tahu. Dia tak tahu. Kalian mungkin juga tak tahu. Aku tak berharap cintaku terbalas karena dia memang tidak peka. Atau mungkin dia peka hanya masih berhati-hati. Dia kan tak sebodoh aku yang bisa jatuh cinta begitu saja. Mungkin mengaguminya dari jauh dan menyebutnya diam-diam dalam doa adalah cara mencintai paling tulus dan mungkin bagianku cukuplah sampai batas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar